Sunday, July 17, 2005

Sebuah Roman di Akhir Minggu

Sejak Barkah pertama kali menyebutkan nama buku itu, gue tahu ini akan jadi perburuan yang sulit. "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" dikarang oleh Dr.HAMKA dan terbit pertama kali tahun 1938. Jelas tidak mungkin menemukan buku ini dengan cara mencarinya di antara rak toko buku Gramedia. Gue menghubungi tiga toko buku online lokal untuk menanyakan buku itu, hasilnya dua toko tidak membalas sampai sekarang sementara yang terakhir malah mengirim katalog buku terbaru mereka. Usaha lewat milis dan forum penggemar buku juga belum membuahkan hasil signifikan. Jalan terakhir yang gue belum lakukan mungkin tinggal berburu di lapak-lapak buku bekas di Pasar Senen, dan untuk yang satu itu gue masih terkendala waktu dan kesempatan.

Gue penasaran dengan alasan Barkah ingin mendapatkan buku ini. Waktu itu sih dia bilang itu karena belum pernah lagi baca karya fiksi yang menyentuh sejak baca Contactnya Carl Sagan. Gue jadi bingung memikirkan bagaimana mungkin keinginan yang terbetik kemudian adalah membaca sebuah roman angkatan 45 jika karya fiksi terakhir yang dianggap menyentuh adalah sebuah novel fiksi ilmiah ?

Eniwei, setelah gue cerita ini ke my beloved sister, die kemudian membawa pulang sebuah edisi "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck" dari Perpustakaan FIB. Yang dibawa adek gue adalah cetakan ulang ke-4, bertanggal tahun 1966. Ejaan yang digunakan masih dan kertasnya sudah mulai menguning dimakan umur. Tertarik untuk menjawab pertanyaan "apakah roman ini termasuk karya yang menyentuh ?" gue putuskan untuk membacanya. Seingat gue, gue terakhir kali baca roman itu semasa SMA. Kalau dulu ada tuntutan tugas pelajaran Bahasa Indonesia, gue rasa akan menarik kalau sekarang gue membacanya sebagai suatu rekreasi ke masa silam, selingan dari karya-karya kontemporer yang lebih sering gue baca,

Dalam roman itu HAMKA mengajak kita mengikuti kisah cinta dua anak manusia, Zainuddin dan Hayati, yang terjadi di sebuah masa yang rasanya jauh sekali dari masa kita kini. Sebuah masa dimana pandangan pertama adalah pertemuan-pertemuan tak sengaja dan penuh kemalu-maluan di pematang sawah. Dimana gejala penyakit cinta dilukiskan dengan " dilihatnja sekali lagi alam di sekelilingnja tiba-tiba dari sedikit kesedikit, wadjah alam itupun bertukarlah pada penglihatannja dari jang biasa. Air jang mengalir seakan-akan bernjanji, bunji puput anak gembala seakan-akan penghibur, deru angin ditelinga seakan-akan menghembuskan harapan baru". Masa itu juga adalah masa ketika katakan cinta terangkum dalam sebuah surat yang diawali dengan " Gemetar, Entjik ! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku menulis, banjak yang terasa, tetapi setlah kutjetjahkan penaku kedawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai" dan dipamungkasi dengan "Terimalah saja menjadi sahabatmu yang baik, Hajati. Supaja dapat saja mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tangungan hati, Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan kepada orang lain."

Sebagai roman, "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" punya unsur-unsur yang lengkap. Tokoh utama yang terus didera derita sebelum akhirnya menemukan bahagia; cinta tulus yang harus menghadapi ujian adat, keluarga, dan perbedaan status; dan tentu saja akhir tragis yang mengharukan.

Tentu saja roman ini bukan sekadar roman biasa. Kalau sejak awal meniatkan untuk hanya menulis roman biasa, tidak mungkin HAMKA menempuh resiko untuk "sesungguhnya bagi golongan agama, menulis roman, adalah menjalahi kebiasaan yang umum dan lazim" sebagaimana yang diungkapkannya di kata pengantar. HAMKA banyak memasukkan pesan-pesan Islami yang dikemas sedemikian rupa sehingga tak jadi membosankan. Misalnya saja dengan melukiskan bagaimana Hayati seringkali mengkonsultasikan perasaannya kepada Allah dalam shalat malamnya,"...djika tjinta itu suatu dosa, ampunilah dan maafkanlah ! Hamba akan turut perintahMu. Hamba tak akan melangar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang lain tak tahu, tetapi izinkanlah hamba Ya Tuhan."

Dalam romannya ini, HAMKA juga menumpahkan kegalauannya melihat fenomena bagaimana adat berbenturan dengan modernitas dan segala dampak negatifnya. HAMKA risau melihat bagaimana kemajuan yang datang bersama pendidikan dan interaksi dengan Barat membuat banyak nilai-nilai dijungkirbalikkan. Standar moral berubah, apa yang benar dan salah tiba-tiba perlu ditulis ulang. Idealisme harus berhadapan dengan pragmatisme sementara konsep kebahagiaan yang berorientasi akhirat menjadi basi dan ditinggalkan. Curahan kepedulian HAMKA inilah yang membuat roman ini menjadi tak lekang oleh zaman dan selayaknya terus dibaca ulang oleh generasi Indonesia.(AY Sujono)

No comments: